Tadi petang, pukul 19.20, di dekat terminal Barangsiang, saya turun dari kendaraan omprengan
UKI-Bogor. Tenggorokan terasa kering. Hari itu saya berpuasa. Ketika turun dari angkutan
umum, rasa haus sangat, kuat terasa. Ingin rasanya saya minum teh panas.
Di trotoar, ada kios jamu dan di belakangnya terdapat Warung Soto Sapi dan Sop Kambing.
Merapat saya ke warung nasi dadakan itu. Melihat ada tamu datang, penjual soto itu maju ke
depan, mendekat ke “calon pembeli”.
“Saya mau minum saja, boleh?”
“Minum mah di sana, tuh!” Penjual nasi itu menunjuk ke kios jamu.
Saya menuju kios penjual jamu.
“Pak, ada teh panas?”
“Tah, di dinya enteh mah!” (Tuh, di sana kalau mau minum teh), tukang jamu menunjuk warung
nasi.
Sangat mungkin mereka menduga bahwa saya akan minta teh secara gratis. Dan itu, hanya akan
membikin repot mereka. Padahal, saya, tentu saja, akan bayar. Mau ngebatalin puasa; dan,
terutama, untuk mengusir rasa haus yang semakin menjadi.
“Bubulak, Laladon…Bulak…Ladon,” beberapa kali terdengar suara sopir mengajak penumpang
naik ke angkotnya.
Saya tinggalkan warung nasi dan kios jamu yang tidak “memberi” teh itu. “Nanti minum di
rumah saja, ” pikir saya.
Dalam angkutan kota Baranangsiang-Bubulak, saya duduk di bangku depan. Maksud hati mau
meneruskan tidur yang belum selesai, di omprengan tadi. Lumayan, sambil memanfaatkan
waktu, ketika lalu lintas di Jalan Kapten Muslihat hingga daerah Jembatan Merah, macet total.
Namun, tenggorokan yang kering merusak konsentrasi. Rasa haus itu mengganggu rencana
tidurku.
“Bapak sekarang posisi di Gunungbatu, puasa dan belum buka. Haus sekali. Tolong buatkan teh
panas, ya!” saya kirim pesan pendek kepada putri kami.
Di teras rumah saya dapati istri sedang berbincang dengan dua orang pendatang yang tidak lama
lagi akan melangsungkan pernikahan. Mereka mengundang kami. Setelah bersalaman dengan
tamu, langsung saya masuk ke rumah.
“Did you receive my message?” tanya saya kepada Bila.
“Sudah tuh, di dapur!”
Saya menyeruput teh panas yang sudah disiapkan putri kami. Saya buka kulkas. Ada sepotong
mungil dark chocholate yang sudah membatu. “Lumayan,” pikir saya.
Gigitan kecil-kecil coklat hitam -yang panjangnya tinggal kurang dari lima centimeter itu- dan
langsung disusul sruputan teh tawar panas dan kental, nikmatnya tiada dua!
Ciomas, Selasa, 18 Juni 2013
P.S.: Boleh coba, waktu nanti berbuka.