“Halo, ya…ya, sedang jemput Pak Kiai,” Pak Kustur Zuhri, sopir yang membawa saya menuju
Balai Sudirman menjawab panggilan telepon.
Mas Nuryanto bersama sopir menjemput saya untuk sebuah acara pernikahan di Balai Prajurit.
Petang itu, saya mendapat tugas membaca doa bagi kedua mempelai. Mas Nur, kawan lama
Mas Bambang Panuju, adalah panitia acara pernikahan putra Mas Bambang; Hascaryopemuda tampan yang senyumnya menawan dengan Afi- gadis cantik, baik budi. Ia koordinator
penjemputan-penjemputan. Dia menyebut saya “Pak Ustaz”, sedangkan yang bawa mobil, Pak
Kustur, memanggil saya dengan “Pak Kiai.” Hebat sekali!
“Mas Nur dan Pak Kus, saya bukan ustaz; apalagi kiai. Saya mah petugas baca doa saja.”
Istilah ustaz, da’i, mubalig, dan kiai seringkali tidak begitu dimengerti oleh kebanyakan orang
yang tinggal di kota. Beberapa teman-teman pernah bertanya kepada saya, “Apa sih beda
sebutan-sebutan itu?”
Setahu saya, inilah definisi dari istilah-istilah yang saban hari disebut di mimbar-mimbar Jumat,
pada acara-acara ceramah waktu buka bersama, atau saat kultum-kultum di gedung-gedung.
Mubalig
Mubalig berasal dari kata balagha-yablughu-buluughan, artinya menyampaikan, mendapat,
balig. Bisa juga berasal dari kata balugha-yablughu-balaaghatan, artinya fasih lidah berkatakata; atau dari ballagha-ablagha, menyampaikan. Orang yang menyampaikan disebut mubalig.
Siapa pun yang bicara di mimbar atau pun di bukan mimbar, baik dia ustaz, kiai, dosen,
mahasiswa, petinggi kantor, pekerja biasa, atau siapa saja, ia mubalig. Dia penyampai. Apa pun
yang disampaikannya.
Da’i
Da’i berasal dari kata da’aa – yad’uu – da’watan, artinya menyeru. Ism fail (pelaku) dari da’aa –
yad’uu – da’watan adalah daa’i (“a”-nya panjang). Diindonesiakan menjadi da’i, artinya orang
yang menyeru. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia baku, tanda petik tunggal seperti dalam
kata da’i, do’a, ‘alaikum, tidak diperkenankan. Demikian halnya dengan bunyi-bunyi panjang
semisal bunyi “a” dalam daa’i, “a” dan “i” dalam Aamiin. Padahal, jika kata “aamiin” yang
artinya “kabulkanlah permintaan kami”, apabila ditulis dengan mengikuti bahasa Indonesia baku,
tanpa bunyi panjang, menjadi “amin”, jika dikembalikan ke bahasa aslinya, tidak ada maknanya.
Sedangkan “da’watan” (masdar/gerund) dari daa’a dengan dimatikan pembacaan huruf
akhirnya menjadi “da’wah”. Dalam bahasa Indonesia, seringkali bunyi “ain” mati diganti dengan
huruf “k”. Da’wah ditulis dakwah. Majelis ta’lim, ditulis majelis taklim. Padahal itu tidak tepat
karena “k” , dalam ejaan Arab ada sendiri hurufnya, yakni “kaf”.
Yang disampaikan seorang mubalig bisa berupa seruan atau hanya sekadar informasi. Kalau
mubalig itu ceramahnya berisi seruan kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dia disebut
da’i, yakni orang yang menyeru. Iblis pun, penyeru juga, tapi pada kekejian.
Ustaz
Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan kata “ustadz“ dengan ustaz, sedang dalam bahasa
Sunda ditulis “ustad“. Jika mengikuti bahasa asalnya, seharusnya ditulis ustadz. Akan tetapi,
Ejaan Yang Disempurnakan tidak mengizinkan penulisan dobel konsonen “d“ dengan“z“.
Jadilah seperti itu.
Ustaz adalah seorang yang pekerjaan utamanya atau salah satu pekerjaan utamanya mengajarkan
ilmu agama. Dalam bahasa Arab, ustaz disebut juga mudaris.
Ustaz; ilmunya luas, akhlaknya terpuji, dan amal salehnya banyak. Ustaz, ketika ceramah, dia
mubalig juga. Jika ceramahnya berisi seruan, ia mubalig sekaligus da’i.
Kiai, Santri, dan Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya diajarkan kurikulum pesantren.
Saya menemukan banyak lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya bukan pesantren, tetapi
menyebut dirinya sebagai pesantren. Tentu, tidak perlu disebutkan di sini, “pesantren” mana saja
yang masuk kelompok ini. Itu pun, tak perlu diprotes. Biarkan saja!
Di pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang meliputi ilmu-ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqh, Ushul
Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawwuf, Tarikh, Balaghah, dan seterusnya.
Kalau anak-anak kita belajar di lembaga pendidikan Islam yang hanya mengajarkan ilmu sesuai
kurikulum Diknas saja, seperti dipelajari di banyak sekolah umum; walau para pelajarnya tidak
pulang ke rumah-rumahnya alias menginap di kompleks sekolahan, mereka tidak disebut santri;
karena sekolahnya memang tidak pesantren. Ia hanya “boarding school” saja, bukan pesantren.
Jika anak-anak yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah berkurikulum Diknas disebut sebagai
siswa, murid, atau pelajar; maka para pencari ilmu di pesantren dikenal sebagai santri.
Sedangkan pimpinan pesantren dipanggil kiai. Menurut pengertian yang dipakai dalam
lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim (orang berilmu) hanya disebut kiai jika ia
memiliki pesantren yang di situ terdapat para santri.
Santri terdiri atas dua kelompok: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah para
santri yang umumnya berasal dari daerah yang jauh, dan mereka menetap di dalam pesantren
untuk suatu periode tertentu. Sedangkan santri kalong adalah mereka yang berasal dari kampungkampung dekat atau sekitar lokasi pesantren. Sehabis jam pelajaran, mereka pulang ke rumah
masing-masing, tidak menetap di pesantren.
Kata Kiai, selain digunakan untuk menyebut ahli agama yang memimpin pesantren dan
mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya, juga dipakai untuk gelar kehormatan
bagi benda-benda yang dianggap keramat: kereta emas, keris, dan sebagainya. Dalam
perkembangannya, banyak juga ulama yang tidak memiliki pesantren dipanggil kiai, tetapi
mereka mengajar di pesantren atau masjid-masjid dan biasanya mempunyai spesialisasi bidang
ilmu tertentu.
Di Jawa Barat para kiai lebih umum dipanggil dengan sebutan ajengan. Barangkali berasal
dari kata orang yang“diajeng-ajeng“ (dihormati). Dengan kaitan yang sangat kuat dengan
tradisi pesantren, gelar kiai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam
tradisional.
Dalam tradisi pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah kitab yang pernah dipelajari
dan kepada ulama mana ia telah berguru. Lembaga-lembaga pesantren menentukan kitab-kitab
standar yang ditulis dalam bahasa Arab yang harus dipelajari para santri. Para kiai, kemudian,
mengembangkan diri untuk memperdalam pengetahuan atau keahlian di bidang tertentu. Dengan
ini muncullah pesantren-pesantren yang tersohor dengan Ilmu Lughoh atau terkenal dengan
Tata Bahasa Arabnya, pesantren yang kiainya ahli dalam Ilmu Hadits, pesantren yang kiainya
menggali ilmu Tafsir, atau pesantren yang mashur dalam Tasawwuf.
Hubungan batin guru-murid dan kiai-santri.
Guru, sebagai mana “asal katanya“, digugu dan ditiru (ditaati dan diikuti), kendatipun dari segi
apresiasi atas profesi dan jasa-jasanya masih jauh dari memadai, mendapat posisi terhormat di
masyarakat. Orang-orang desa, seperti saya, sangat menghormati guru. Di mana pun bertemu
guru (guru apa pun, formal atau nonformal) dan kapan pun, kita harus menghormatinya. Jangan
sekali-kali menyebut guru-guru ketika belajar di SD, SMP, SMA, madarasah, atau pesantren
sebagai, “Dia bekas guru saya.“ Guru tak ada bekasnya. Sekali guru, seumur hidup, dia atau
mereka adalah guru kita. Jasa para guru tak mungkin kita bisa membayarnya dengan harta atau
kata-kata. Karena para gurulah kita tahu ini dan itu. Tanpa mereka, apa jadinya kita! Karena jasajasa mereka itulah, saya ajarkan kepada anak-anak asuh saya, setiap bakda shalat, selain mohon
ampun untuk ayah dan ibu, juga mereka berdoa untuk para guru.
Itu baru hubungan guru-murid atau murid-guru. Bagaimana dengan hubungan kiai-santri.
Kiai itu guru plus. Ada perbedaan yang signifikan dalam hal hubungan guru-murid di
sekolah umum dengan kiai-santri di pesantren. Hubungan yang terakhir malah mengembang
hingga kiai-masyarakat. Hubungan guru-murid, secara umum, adalah formal. Kiai dan santri
mempunyai relasi spiritual. Ada hubungan batin yang kuat antara keduanya.
Pada jam-jam pelajaran di pesantren atau pada waktu-waktu tertentu, kiai sering berdialog
dengan para santri. Dialog dari hati ke hati. Tak jarang kiai pun selain memberikan ilmunya, ia
pun menyumbangkan hartanya untuk para santri yang memerlukannya.
Selain para santri, masyarakat sekitar sering datang ke lingkungan pesantren, bersilaturahmi
kepada kiai dan keluarga. Keluh kesah warga didengar dan dicarikan solusinya oleh kiai. Saya
menyaksikan banyak orang dibantu, tidak saja dari segi moral-spiritual, juga material-finansial
oleh kiai. Di sisi lain, masyarakat pun tidak segan-segan, kalau ada rezeki, sebesar atau sekecil
apa pun, memberikannya kepada kiai. Mereka ingin, walau hanya punya makanan sedikit,
kiai dan keluarga, mencicipinya. Dan, semua komunikasi ini terjalin dalam saling memahami,
saling mengasihi. Kiai-santri-masyarakat memiliki hubungan yang melewati batas-batas formal.
Mereka disatukan hati dalam kebersamaan suka dan duka, yang tidak didapatkan dilingkungan
lainnya.
Santri dan masyarakata setempat (bahkan tak jarang tamu dari tempat yang sangat jauh) datang
menemui kiai, tidak saja dalam urusan ukhrawi-jami’ie; melainkan juga duniawi- pribadi.
Semua suka-duka, keluh-kesah santri dan rakyat, itu tidak mungkin diadukan dan dengar para
pejabat. Hanya para kiai yang bisa dan mau mendengar tawa-canda, atau jerit-tangis santri dan
rakyat. Harus kita pahami, jika kiai memerintah suatu tugas, para santri akan berebut untuk
melaksanakannya. Jika kiai suka, para santri akan gembira; apabila kiai sedih, santri akan
menangis. Tidak mengherankan, apabila ada kiai yang dizalimi, tidak hanya santri, masyarakat
pun akan marah dan siap untuk membelanya, dengan apa pun!
Perbedaan ustaz dan kiai tidak terletak pada kapabilitas keilmuannya, melainkan pada
hubungan santri dan pesantrennya.
Seorang yang sudah menyelesaikan pendidikan keagamaan di suatu pesantren kemudian pulang
kampung dan mendirikan pesantren, dia sudah jadi kiai. Bisa juga menjadi kiai di pesantren di
mana dulu ia menjadi santri. Kiai kelompok terakhir ini, biasanya berasal dari santri yang paling
cerdas, kemudian menikah dengan putri kiai. Ia menjadi kiai meneruskan kiai sebelumnya, yang
tak lain adalah mertuanya.
Seorang yang sudah selesai di satu pesantren walau kemudian dia menuntut ilmu lagi di banyak
pesantren, tetapi kemudian tidak memimpin pesatren, dia tidak disebut kiai.
Bisa saja seorang ustaz ilmunya melebihi kiai. Tetapi, pada umumnya seorang kiai, dahulunya,
setelah selesai menuntun ilmu di suatu pesantren, dia akan menambah ilmu lagi di pesantrenpesantren lainnya. Bisa jadi seorang santri mendalami Fiqh di pesantren A sampai khatam; dia
kemudian mesantren lagi di pesantren B untuk mendalami Ilmu Balaghah. Selanjutnya, ia datang
lagi ke pesantren C untuk belajar Ilmu Kalam. Selesai dari pesantren C, ia melanjutkan belajar
ilmu Tasawwuf di pesantren lainnya, dan seterusnya. Demikianlah perjalanan para kiai sehingga
ilmunya mumpuni.
Di lain pihak, seorang ustaz pun, bisa menuntut berbagai ilmu yang menjadi kurikulum
pesantren, dan, malah, ia bisa menambah ilmu-ilmu yang mungkin, pesantren tidak
mempelajarinya. Tapi itu sangat jarang, kecuali para pencari ilmu sejati. Jadi, pintu-pintu
ilmu itu sangat banyak, dan bisa dimasuki oleh para pecinta ilmu. Dan, pusat ilmu itu adalah
Rasulullah saw. Tempat berpusatnya ilmu disebut Madienatul ‘Ilmi.
Hadad Alwi melantunkan, “Ana madienatul ‘ilmi wa ‘Aliyyun baabuha. Faman araada alMadienah, falyatihaa min baabiha. “ Akulah kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya. Barang siapa
berkehendak ke kota ilmu itu, hendaklah ia datang melalui pintunya.
“Jadi, kamu masuk kelompok yang mana? Mubalig, ustaz, da’i, atau kiai?”
“Tidak ke satu kelompok pun saya masuk. Saya bukan mubalig, karena jarang bicara (kecuali
kalau terpaksa). Bukan ustaz, sebab dari segi ilmu saya tidak mampu, amal sangat terbatas,
dan dari bidang akhlak, kawan-kawan dekat saya tahu bahwa akhlak saya kurang bagus. Saya
orangnya usil dan suka jail. Ustaz, seperti saya sebut di atas, ilmunya luas, amalnya banyak, dan
akhlaknya hebat.”
“Kiai?”
“Apalagi!”
“Dalam hubungan dengan keilmuan, saya sekadar seorang pencari ilmu yang berusaha untuk
tetap belajar kepada guru, yakni para mubalig, ustaz, da’i, dan kiai itu. Saya ini murid, orang
yang memerlukan ilmu. Di luar itu, saya hanyalah bapaknya anak-anak yatim dan temannya
orang-orang miskin.”
Wallaahu a’lam.
Ciomas, 14 Juli 2013, menjelang pagi.
Salam,
jr